December 11, 2020

Menapak Jalan

Melalui pertemuan kedua mereka di Solo, sebulan setelah pertemuan mereka di Jogja secara empat mata Dani mencoba menyulutkan api rasa nya ke obor hati Yuta yang telah lama padam dan gelap.

Siang itu, di bulan bontot tahun 2019 ku parkirkan kendaraan roda dua yang ku pinjam dari temanku di depan kedai susu utara Stasiun Solojebres. Ku tengok kiri kanan, rupanya belum tampak raut wajahnya yang ku akui memang belum ku hafal betul dalam ingatanku. Maklum kami bertemu masih sekali, satu bulan yang lalu di tengah malam dan hiruk pikuknya kota Jogja. Memang sebelumnya kami saling mengenal selama 3 bulanan lewat telepon dan chat. Sering kami bertukar luka pada masa silam, biasalah anak muda pasti mengenai asmara. Nampaknya setelah ku timbang-timbang kami banyak memiliki kesamaan mengenai luka asmara dan entah apa yang terjadi saat itu juga aku mulai tergerak untuk mengetuk pintu hatinya setelah sekian purnama aku berjalan menembus kebisingan Jogja membawa sekeping luka.

Cinta seperti layaknya api, setiap seringnya terjadi gesekan antar 2 benda akan menghasilkan percikkan api begitupun aku dan Yuta bisa menghasilkan percikkan rasa. Tapi itulah perasaanku entah kalau Yuta, karena dari cerita-ceritanya banyak kuambil premis dia sedang takut membuka hati. Bahkan sudah 2 tahun dia tidak pacaran setelah ia diselengkuhi pacarnya yang kuliah di kampus swasta sekitaran jalan seturan Jogja. Kembali pikiranku ke kedai susu tadi, ku teropong kedainya masih sangat sepi bahkan belum ada pengunjung. Sepuluh menit kemudian deru mesin motor matic mulai terdengar beriringan suara perempuan.

“Sudah lama kamu?” prolog sapaan gadis yang baru saja kuingat wajahnya.

“Belum kok, baru 10 menitan mungkin.”

Lalu kami turun dari motor masing-masing dan masuk ke kedai tersebut untuk memarkirkan tulang punggung kami di kursi no 10. Ku lirik masih banyak karyawan yang sibuk membersihkan meja dan kursi. Belum ada 1 menit duduk, kemudian kulihat dari arah timur karyawan dengan agak judes berkelamin perempuan menghampiri kami, pikirku ia hendak memberi ku daftar menu ternyata,

“Mas, kedainya belum buka mungkin setengah jam lagi,” ucap karyaawan dengan nada judes.

“ Oh, maaf mbak. Saya kira sudah buka.” dengan nada kagetku bercampur malu, sembari bergegas mengajak Yuta untuk segera keluar menuju selasar kedai.

“Maaf ya Dan. Padahal kata temenku buka jam 10 ternyata jam 11 belum buka. ”

“Hahaha iya gapapa. Kedainya juga aneh, belum buka tapi tampilan materialnya sudah dibuka lebar-lebar jadi kan kesannya sudah buka.”

“Iya ya bener nih hehe. Udah dari kemarin di Solo? Nginep dimana?”

“Iya Yut, Nginep di kontrakan temenku sekitaran bandara” ku jawab dengan tatapan yang tak ku hadapkan ke matanya.

“Lah, jauh banget Dan.” jawabnya dengan tatapan yang sama, tak disasarkan ke mataku

“Nggak ah, cuma 20 menitan kok”

Setelah berbincang-bincang tak penting waktu pun terasa cepat. Hukum relativitas benar-benar nyata adanya. Lalu kami masuk ke kedai dengan memesan 2 gelas es susu coklat dan 2 piring kentang goreng yang ternyata setelah ku cicipi masih setengah matang. Tak terasa dibawah langit biru awan megan pun mulai menggeser awan cerah, benar saja dugaanku. Air tuhan pun mulai turun membasahi percakapan kami yang mulai meredup dan hampir layu karena kehabisan bahan. Tak sengaja lagi-lagi pikiranku berkelana ke ucapanku awal prolog cerpen ini, ingin ku mencoba mengetuk hati si Yuta. Mungkin ini waktunya untuk coba ku ungkapkan dengan mengalir dan terstruktur bak menyusun strategi perang  di tengah kegentingan.

“Yut, ada sesuatu yang ingin aku omongin. ”

“Lah tinggal ngomong.” ucap Yuta dengan gelagat penasaran.

“Dengan apa yang aku rasa, aku ada rasa sama kamu. Aku serius sama kamu, kamu mau nggak kita mencoba menyusuri ilalang kehidupan yang tak pernah kita ketahui kedepannya dengan bersama?” Tanyaku dengan lirih terbata-bata.

“Maksudnya?”

“Dengan kata kasarnya mungkin pacaran.”

“ Mmmmm. Sebenarnya aku juga gak tahu, ku akui aku nyaman sama kamu tapi maaf aku belum bisa jawab sekarang.”

“ Aku melihat, eh maaf lebih tepatnya aku merasakan kita pernah punya pengalaman getir yang hampir sama. Mungkin itu bisa jadi pupuk kita untuk kedepannya ketika kamu mau mencoba beriringan denganku, itu sih mungkin yang membuat rasaku mulai tergerak.”

“Iya aku juga ngerti, tapi sekali lagi mohon maaf. Aku harus berfikir kembali, kembali dan kembali lagi.”

“Butuh berapa lama jawabnya?”

“Secepatnya, karena aku ngerti rasanya digantung seperti apa.” Jawabnya dengan mantap

“Oh, oke deh. O iya, kutekan kan juga ya aku ga bisa janji untuk apapun, apalagi setia. Janji untuk selalu setia hanyalah sebuah omong kosong besar, karena kita tak bisa memilih jatuh cinta pada siapapun bahkan rasa cinta pun tak pernah bisa kita kuasai secara mutlak.”

“Terus tawaran apa yang bisa kamu lakukan? Kamu tau sendiri kan pengalamanku seperti apa.”

“Mungkin sebuah konsisten untuk selalu berusaha merawat dan memupuk rasa ku agar selalu tumbuh bersamamu.”

Setelah lama kita berbincang mengenai hati yang baru saja kuungkapkan akhirnya aku harus menunggu jawaban dari Yuta mungkin 1-2 hari dan aku menghargai itu. Waktu menunjukkan pukul 5 sore dan kami pun segera pulang pada kesepian kami masing-masing diiringi sejuknya angin Solo selepas hujan.

“Besok lain waktu aku gantian yang ke Jogja, ya.” ucap Yuta sambil memakai helm, lalu ku acungkan jempolku menghadap Yuta sembari tersenyum.

Sepanjang perjalanan pulangku bersepeda motor ada hal yang bisa disimpulkan. Menurutku konsep orang jahat adalah orang yang lahir dari orang baik yang disakiti tak sepenuhnya benar. Padahal bisa saja orang baik adalah orang yang pada saat itu tersakiti dan enggan menyakiti orang lain, karena ia paham dan merasakan betul bagaimana sakitnya rasa tersakiti itu. Lihat saja ketika Yuta berbicara “ Secepatnya, karena aku ngerti rasanya digantung seperti apa.” Bisa jadi secara tak sadar konsep seperti itu tertanam di otaknya, dan aku yakin .

Itulah konsep yang aku tanamkan tadi di kepalaku sehingga aku benar-benar berani meluapkan isi hati, dan mungkin bisa juga konsepku salah,  memang benar yang dikatakan budayawan Emha Ainun, “tidak ada kebenaran yang mutlak yang ada adalah kedaulatan masing-masing untuk memilih mana yang benar.” Memang tak kusesali jika aku terlanjur menanamkan benih rasa ke Yuta, jika tumbuh mungkin bisa menjadi sangat rindang dan sejuk karena banyaknya pupuk yang kita punya pada masa lalu, tapi jika tidak tumbuh, mungkin bisa menjadi kompos untuk pupuk benihku dan Yuta dikemudian nanti.

Penulis : Bagas Setap

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply