November 26, 2020

KPK Diminta Usut 9 Perusahaan Penerima Izin Eskpor Benur, Termasuk Milik Fahri Hamzah

  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka pada Rabu (25/11). Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mendesak KPK selanjutnya usut tuntas perusahaan lain yang menerima izin ekspor benih lobster. Melalui laman resminya, KPK menetapkan Edhy dan tujuh orang tersangka dari yang sebelumnya sebanyak 17 orang diamankan dalam operasi tangkap tangan di Jabodetabek dengan lima lokasi yang berbeda. OTT ini dilakukan terkait dengan dugaan suap dalam Perizinan Tambak, Usaha dan Pengelolaan Perikanan atau Komoditas Perairan Sejenis Lainnya Tahun 2020. Berdasarkan laporan KPK, Edhy menerima suap dari Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama Suharjito dengan tujuan agar perusahaan milik Surhajito ditetapakan sebagai eksportir benur melalui forwarder satu-satunya, yakni PT. Aero Citra Kargo. KIARA melalui Susan mengapresiasi tindakan cepat yang dilakukan KPK dalam merespons kasus ini, yang memang dianggapnya sudah sangat bermasalah sejak dari awal wacana pengeksporan ini tersiar. Selanjutnya, Susan mendesak KPK untuk mengusut 9 perusahaan yang telah melakukan ekspor benur atas izin dari Menteri KKP Edhy Prabowo. “Setidaknya telah ada sembilan perusahaan yang telah melakukan ekspor benih lobster per Juli 2020, yaitu CV Setia Widara, UD Samudera Jaya, CV Nusantara Berseri, PT Aquatic SSLautan Rejeki, PT Royal Samudera Nusantara, PT Indotama Putra Wahana, PT Tania Asia Marina, dan PT Nusa Tenggara Budidaya,” ucap Susan yang dilansir dari laman resmi KIARA (26/11). Untuk informasi tambahan, PT Nusa Tenggara Budidaya merupakan perusahaan milik Fahri Hamzah, bertugas sebagai komisaris. Fahri mengaku bahwa proses permintaan izin pengiriman benur kepada pemerintah dilakukan secara transparan. “Prosesnya itu transparan, rapatnya itu terbuka, karena waktu itu memang protokol Covid dan saat itu memakai Zoom, terbuka, verifikasinya langsung, saya kira dari sisi governance dijalankan dengan baik,” kata Fahri ketika ditanya oleh Najwa Shihab di program Mata Najwa (26/11) perihal dugaan gratifikasi saat proses permintaan izin. Ia mengaku merugi hingga 200 juta rupiah lebih dan telah menonaktifkan operasional perusahaannya yang baru dimulainya pada Mei 2020. Walau begitu, menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Ranjungan di Wilayah Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa untuk membudidayakan lobster sebelumnya pembudi daya harus melakukan melepasliarkan lobster sebanyak 2 persen dari hasil panen, yang notabene paling cepat dilakukan selama satu tahun.   Penulis: Ricky Setianwar    
Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp

Leave a Reply